Selasa, 26 Juli 2016

KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENGUJI KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI RI TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH


A. LATAR BELAKANG

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2015 yang telah berlalu ternyata masih menyisahkan beberapa catatan perseoalan yang tak kunjung selesai bagi pasangan calon kepala daerah yang merasa belum memperoleh keadilan dan kepastian hukum. Hal ini terbukti dari fakta perkara-perkara yang sedang ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dimana sekitar belasan pasangan calon kepala daerah dari berbagai wilayah di Indonesia yang mengikuti pilkada tahun 2015 mengajukan gugatan terhadap Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri) yang mengeluarkan surat keputusan (SK) pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.

Permasalahan yang timbul bagi para pasangan calon kepala yang mengajukan gugatan tersebut yakni respon Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang menggunakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, untuk menyatakan tidak menerima gugatan yang diajukan tersebut dengan alasan bahwa pengadilan tata usaha negara tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan tersebut.

Atas permasalahan tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 maka para pasangan calon kepala daerah tersebut mengajukan gugatan perlawanan atas penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut.

B.  RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan hukum yang ingin dikaji oleh penulis dalam penulisan ini yakni apakah Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang menguji keputusan Menteri Dalam Negeri RI tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah ?

C.  PEMBAHASAN

1.       SK MENDAGRI TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KONTEKS  SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Pengertian sengketa tata usaha negara berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yakni dikutip sbb :

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sengketa tata usaha negara terdiri dari unsur-unsur, sbb :

1.       Pihak yang bersengketa yakni orang atau badan hukum perdata selaku Penggugat melawan badan atau pejabat tata usaha negara dan
2.       Yang menjadi objek sengketa yakni keputusan tata usaha negara.
Unsur sengketa tata usaha negara tersebut apabila dihubungkan dengan fakta gugatan yang diajukan oleh pasangan calon kepala daerah terhadap SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, maka unsur pertama berupa pihak yang bersengketa telah terpenuhi karena Penggugat adalah pasangan calon kepala daerah yang merupakan subjek hukum orang, sedangkan Mendagri sebagai Tergugat adalah pejabat tata usaha negara. Sebagaimana diketahui pengertian Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 yakni badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari aspek objek sengketa berupa SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, dapat disimpulkan bahwa SK tersebut merupakan keputusan tata usaha negara karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 yang dikutip, sbb :
“Keputusan Badan atau Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”
SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah merupakan keputusan tata usaha negara yang bersifat kongkret kongkret karena keputusan tersebut benar-benar nyata tertulis dan tidak bersifat abstrak. Di sisi lain SK Mengadri tersebut bersifat individual, karena dalam keputusan tersebut jelas diperuntukkan kepada nama yang tertera dalam keputusan tersebut. Adapun SK Mendagri tersebut bersifat final, karena SK tersebut  telah menimbulkan akibat hukum dan tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut.

Bahwa sebagaimana diketahui dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 juga memberikan pengecualian tentang sebuah keputusan tata usaha negara yang dapat disengketakan di pengadilan tata usaha negara yakni sbb :

1.       Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2.       Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.       Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4.       Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5.       Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6.       Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
7.       Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum

Bahwa dari ketujuh pengecualian tersebut, maka yang terkait dengan pilkada yakni Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Tentunya ketentuan tersebut apabila dihubungkan dengan gugatan yang diajukan oleh pasangan calon kepala daerah tersebut maka sangat jelas bahwa yang menjadi objek sengketa adalah SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, bukan keputusan panitia pemilihan (KPU). Dengan demikian maka objek sengketa tersebut bukanlah jenis keputusan yang dikecualikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut.
Berdasarkan analisa tersebut di atas maka SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah merupakan SK yang dapat disengketakan di pengadilan tata usaha negara.

2.       SK MENTERI DALAM NEGERI (MENDAGRI) TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN

Uraian ini perlu dikaji oleh penulis mengingat dalam salah satu pertimbangan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, pada pokoknya menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 153 dan Pasal 154 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, maka pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilihan yakni ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta setelah seluruh upaya administratif di bawaslu Propinsi dan/atau Panwas Kabupaten Kota telah dilakukan.

Pasal 153 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dikutip, sbb :

Pasal 153
Sengketa tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengertian sengketa tata usaha negara pemilihan yakni :

1)      Sengketa antara antara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota

2)      Objek sengketa adalah Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.


Dengan demikian maka apabila yang digugat adalah  SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, maka sengketa tersebut bukan merupakan sengketa tata usaha negara pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, karena Tergugat dalam perkara tersebut bukan KPU dan objek sengketa dalam perkara tersebut bukan surat keputusan KPU.

Berdasarkan analisa tersebut di atas maka SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah merupakan SK yang dapat disengketakan di pengadilan tata usaha negara.

3.       SK MENTERI DALAM NEGERI (MENDAGRI) TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN TAHAPAN PILKADA

Bahwa adapun dalam salah satu pertimbangan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, pada pokoknya menyatakan objek sengketa (SK Menteri Dalam Negeri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah) adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri RI mengenai rangkaian proses pemilihan Kepala Daerah Tahun 2015 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 jo Undang-Undang No, 8 Tahun 2015;

Menanggapi pertimbangan tersebut, penulis berpandangan bahwa secara hukum rangkaian tahapan proses pilkada telah diatur dalam Pasal 5  Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 yang dikutip sbb :

“(1) Pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan persiapan dan  tahapan penyelenggaraan.

  (2) Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.      perencanaan program dan anggaran;
b.      penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan;
c.       perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan;
d.      pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;
e.       pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS;
f.        pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan; dan
g.      penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih.

 (3) Tahapan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      pendaftaran bakal Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
b.       Uji Publik;
c.       pengumuman pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
d.      pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
e.       penelitian persyaratan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
f.        penetapan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
g.      pelaksanaan Kampanye;
h.      pelaksanaan pemungutan suara;
i.         penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara;
j.        penetapan calon terpilih;
k.       penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan
l.        pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka tahapan akhir dari rangkaian proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh KPU, yakni sampai pada “pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih”.

Dengan demikian maka tindakan pengesahan dan pengangkatan kepala daerah adalah rangkaian terpisah yang menjadi kewenangan mutlak Menteri Dala Negeri dengan memperhatikan seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Oleh karenanya apabila dalam penerbitan SK pengesahan dan pengangkatan kepala daerah, mendagri mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka SK tersebut dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

4.       SK MENTERI DALAM NEGERI (MENDAGRI) TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN YURISPRUDENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Bahwa berdasarkan penelusuran penulis maka terdapat beberapa yurisprudensi dari perkara-perkara gugatan perlawanan yang pernah diperiksa dan diputus di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan amar pada pokoknya yakni membatalkan penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan menyatakan pengadilan tata usaha negara berwenang memeriksa dan mengadili SK Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.

Adapun yurisprudensi tersebut yakni :

a.       Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 09/PLW/2012/PTUN-JKT, tanggal 17 April 2012; dalam perkara Pilkada Kabupaten Mesuji antara salah satu pasangan calon melawan Menteri Dalam Negeri.

b.      Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 146/PLW/2011/PTUN-JKT, tanggal 8 November 2011 dalam perkara Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah antara salah satu pasangan calon melawan Menteri Dalam Negeri.

c.       Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 161/PLW/2011/PTUN-JKT, tanggal 6 Desember 2011; dalam perkara Pilkada Kabupaten Keerom antara salah satu pasangan calon melawan Menteri Dalam Negeri.

Dengan demikian, maka demi kepastian hukum dan sesuai dengan asas hukum similia similiabus yang pada pokoknya menyatakan bahwa perkara yang sama (sejenis) harus diputus sama (serupa) pula, maka sudah selayakna Pengadilan Tata Usaha Negara Jakara memeriksa dan memutus sengketa pengujian atas SK Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang menguji keputusan Menteri Dalam Negeri RI tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.

Meskipun demikian, agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan maka Pengadilan Tata Usaha Negara juga harus selektif memeriksa alasan-alasan gugatan yang diajukan dimana apabila alasan-alasan gugatan berkaitan dengan kesalahan perhitungan suara atau kecurangan-kecurangan dalam pilkada yang mana menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka pengadilan Tata usaha negara harus menyatakan tidak menerima gugatan tersebut.

Selasa, 24 November 2015

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ARBITER TERHADAP TUNTUTAN HUKUM PARA PIHAK YANG BERSENGKETA TERKAIT DENGAN TINDAKANNYA SELAMA MEMERIKSA DAN MEMUTUS SENGKETA ARBITRASE

1.       Latar Belakang

Tulisan ini didasarkan pada pengalaman saya dalam membela klien saya yang merasa dirugikan akibat tindakan Majelis Arbiter yang memeriksa dan memutus sengketa di salah satu lembaga arbitrase. Dalam mengadili perkara tersebut Majelis Arbiter diduga beritikad buruk dengan menolak melakukan pemeriksaan lokasi objek sengketa serta mejatuhkan putusan dengan pertimbangan yang bertentangan satu sama lain dan pertimbangan yang bertentangan dengan hukum.


2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan kasus tersebut, maka permasalahan hukum yang akan coba saya kaji dalam tulisan ini adalah apakah Arbiter atau Majelis Arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum terkait dengan tindakannya selama memeriksa dan memutus sengketa arbitrase ?


3.       Pembahasan

Ketentuan umum yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui arabitrase di Indonesia  yakni sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengket (selanjutnya disebut “UU No. 30 Tahun 1999”).

Terkait dengan hubungan hukum antara arbiter dan para pihak yang bersenketa serta kewajiban arbiter, telah ditentukan dalam Pasal 17 UU No. 30 Tahun 1999, yang dikutip, sbb :

“1.   Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diteriamnya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan, terjadi perjanjian perdata.
2.    Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan  yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang diperjanjikan bersama”

Dari ketentuan Pasal 17 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa :

a.       Hubungan hukum antara arbiter dan pihak yang bersengketa yakni bersifat keperdataan karena arbiter tersebut dipilih dan ditunjuk oleh para pihak. Hal mana berbeda dengan hakim yang merupakan pejabat Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung (vide Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009)

b.      Hubungan keperdataan tersebut menimbulkan kewajiban bagi arbiter agar memberikan putusannya secara jujur, adil dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Terkait dengan pertanggungjawaban hukum arbiter atas segala tindakan yang diambil selama persidangan dalam menjalankan fungsinya sebagai arbiter, telah ditentukan dalam Pasal 21 UU No. 30 Tahun 1999 tersebut dikuti sbb :

“Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut”

Berdasarkan Pasal 21 tersebut, maka disimpulkan bahwa pada prinsipnya Arbiter atau Majelis Arbiter tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban hukum apapun selama menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter.

Meskipun demikian,  frase “kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut sebagaimana tercantum dalam ketentuan tersebut, memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa untuk dapat mengajukan tuntutan hukum apabila arbiter tersebut beritikad buruk dalam menjalankan fungsinya sebagai arbiter.

Dalam penjelasan Pasal 21 UU No. 30 tersebut, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk dari itikad buruk tersebut itikad buruk, namun pengertian itikad buruk (bad faith) dapat kita temukan dalam Black’s Law Dictionary Seventh Edition, halaman 134, yang sebagai berikut:

“A complete catalogue of types of bad faith is impossible, but the following types are among thouse which have been recognized in judicial decisions: evasion of the spirit of the bargain lack of diligence and slacking off, willful rendering of imperfect performance, …dst”

Berdasarkan Black’s Law Dictionary tersebut maka salah satu bentuk itikad buruk (bad faith), adalah “willful rendering of imperfect performance” atau sengaja bertindak secara tidak professional (terjemahan bebas).

Bentuk dari tindakan arbiter yang tidak professional menurut penulis yakni diantaranya :
a.       Tidak melaksanakan tindakan yang sepatutnya dilakukan guna mencari kebenaran atas pokok permasalahan yang disengketakan seperti melakukan sidang pemeriksaan lokasi;
b.      Membuat pertimbangan hukum yang bertentangan satu sama lain dalam putusannya;
c.       Memutus tidak berdasarkan bukti-bukti yang diajukan para pihak.

Bahwa adapun sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1365 KUHPerdata juga memberikan kewenangan kepada setiap orang untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak lain akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan pihak lain tersebut. Kualifikasi perbuatan melawan hukum berdasarkan yurisprudensi dan doktrin yakni tidak hanya terbatas pada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, melainkan lebih daripada itu (vide Setiawan dalam Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003, halaman 28), yakni:

a.      Melanggar hak subjektif orang lain;
b.      Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
c.       Melanggar kaedah tata susila;
d.      Bertentangan dengan kaedah kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.

Oleh karena tindakan seseorang yang bertentangan dengan kewajibannya, dapat dikategorikan sebagai bentuk perbuatan melawan hukum sehingga apabila tindakan tersebut membawa kerugian kepada pihak lainnya, maka memungkinkan pihak yang dirugikan tersebut untuk mengajukan tuntutan hukum.

Dalam kaitannya dengan tindakan arbiter, maka sebagaimana diuraikan diatas bahwa Pasal 17 UU No. 30 Tahun 1999 memberikan kewajiban hukum kepada arbiter untuk memutus sengketa para pihak secara jujur, adil dan sesuai ketentuan yang berlaku. Kewajiban arbiter tersebut juga tercantum dalam ketentuan, sbb :

a.      Pasal 56 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 yang antara lain dikutip sbb :

“Dalam hal Arbitrase tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim”

b.      Pasal  4 ayat (1) UU No.  30 Tahun 1999 yang dikutip, sbb :

“Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberi wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini TIDAK DIATUR dalam perjanjian mereka”

c.       Pasal 15 ayat 2 Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional tersebut dikutip, sbb:

“Dalam menerapkan hukum yang berlaku, Majelis harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta praktek dan kebiasaan yang relevan dalam kegiatan bisnis yang bersangkutan

Dari ketentuan Ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :

a.       Arbiter dalam memutus perkara harus berdasarkan pada ketentuan yang berlaku, baik peraturan perundang-undangan maupun kesepakatan atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b.      Arbiter dalam putusannya harus mempertimbangkan praktek kebiasaan bisnis yang terkait dengan pokok sengketa serta hak-hak dan kewajiban para pihak yang telah diatur dalam perjanjian.
c.       Arbiter hanya dapat memutus berdasarkan keadilan dan kepatutan yang menurut pendapat subjektif arbiter, apabila hal tersebut telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa.

Oleh karena ketentuan tersebut secara tegas mewajibkan arbiter untuk memutus berdasarkan hukum, maka apabila dalam putusannya arbiter atau majelis arbiter memberikan pertimbangan hukum atau menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan hukum dan membawa kerugian bagi salah satu pihak yanag bersengketa, maka menurut penulis hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan demikian maka arbiter atau majelis arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum dengan alasan adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata.


4.       Kesimpulan :

Arbiter atau Majelis Arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum oleh para pihak yang bersengketa terkait tindakannya selama memeriksa dan memutus sengketa arbitrase, sepanjang dapat dibuktikan adanya itikad buruk dan perbuatan melawan hukum yang tercermin dalam putusannya yang bertentangan dengan hukum. 




Selasa, 17 Februari 2015

ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA FORMIL (TINJAUAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID/PRAP/2015/PN JAK.SEL ANTARA KOMJEN POL. BUDI GUNAWAN VS KPK)

Tulisan ini didasarkan atas adanya pro kontra terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan (Pemohon) atas penetapan tersangka dirinya oleh Komisi Pemberatntasan Korupsi (KPK). 

Hal yang secara khusus akan saya kaji dalam tulisan ini yakni salah satu pertimbangan hukum putusan tersebut yang pada pokoknya menyatakan bahwa asas legalitas hanya dikenal dalam hukum pidana materil sedangkan dalam hukum pidana formil tidak mengenal asas legalitas. 

Meskipun dalam teori hukum, terkait putusan hakim dikenal adanya asas hukum yang menyatakan bahwa res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar), namun dalam penulisan ini saya akan sedikit membahas secara singkat, tentang keberlakuan asas legalitas dalam hukum pidana formil berdasarkan peraturan dan doktrin yang berlaku.

1. Makna Asas Legalitas
Asas legalitas dalam hukum pidana berbunyi sebagai berkut “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Menurut Anselm von Feuerbach, kalimat tersebut bila diuraikan dalam tiga frasa, maka akan terdapat tiga makna yakni :
a. Nulla poena sine lege yang berarti tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang 
b. Nulla poena sine crimine yang berarti tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana 
c. Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang 

2. Fungsi Asas Legalitas 
Berdasarkan ketiga frasa yang terkandung dalam dalam asas legalitas sebagaimana dikemukakan dalam poin 1 di atas, maka terdapat dua fungsi dari asas legalitas tersebut yakni :
a. Fungsi melindungi yang berarti bahwa undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang; 
b. Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan; 

3. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Formil 
Keberlakuan asas legalitas dalam hukum pidana formil sebenarnya bersumber dari salah satu frasa yang merupakan makna dari asas legalitas sebagaimana dikemukan oleh Anselm von Feuerbach. Frasa tersebut yakni Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. Frasa tersebut mewajibkan agar setiap proses penegakan hukum pidana harus berdasarkan pada ketentuan undang-undang sehingga tidak diperkenankan para penegak hukum untuk menyimpang dari ketentuan undang-undang. Hal tersebut sejalan dengan fungsi instrumental dari asas legalitas sebagaimana dijelaskan di atas. 

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, penegasan asas legalitas tersebut tidak hanya terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan hukum pidana materiil, melainkan terkandung juga dalam hukum pidana formil yakni dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang berbunyi “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini” 

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHAP tersebut, maka setiap proses penegakan hukum pidana sepanjang tidak diatur secara khusus dalam ketentuan lain, maka harus dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam ketentuan KUHAP. Hal mana merupakan perwujudan dari asas frasa Nullum crimen sine poena legali maupun perwujudan dari fungsi instrumental dari asas legalitas tersebut. 

Dengan demikian, maka terkait dengan pertimbangan Hakim dalam perkara praperadilan Komjen Pol. Budi Gunawan vs KPK yang pada pokoknya menyatakan bahwa asas legalitas hanya berlaku dalam hukum pidana materil, menurut saya sangat tidak tepat. 

Adapun oleh karena telah jelas bahwa asas legalitas berlaku juga dalam hukum pidana formil dalam hal ini KUHAP, sehingga ketentuan tentang objek praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP tidak dapat ditafsirkan lebih lanjut di luar ketentuan tersebut.

Sabtu, 04 September 2010

About Me


PENDIDIKAN :
• S1 Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, tahun 2005 (Cum Laude)
• S2 Magister Hukum Bisnis Univ. Gadjah Mada Yogyakarta (UGM), tahun 2009 (Cum Laude)
• S3 Ilmu Hukum Univ. Gadjah Mada Yogyakarta (UGM), tahun 2011 s/d saat ini

PENGALAMAN KERJA :
• Lawyer di Jati Utomo Law Office 2010 s/d 2011, Yogyakarta
• Senior Lawyer di BNJ Law Office 2011 s/d 2015, Jakarta


PENGALAMAN ORGANISASI
• Wakil Div. Akademik Seminari St. Yudas Thadeus Langgur (2001)
• Ketua Forum Diskusi BENALU (benar-nalar-lurus) FH-UAJY (2006-2007)
• Anggota BPM (badan perwakilan mahasiswa) FH-UAJY (2006-2007)
• Wakil koordinator Div. Penalaran Paguyuban SMITH (solidaritas mahasiswa timur dan tengah) FH-UAJY (2007-2008)
• Ketua BEM (badan eksekutif mahasiswa) 2007-2008
• Anggota Div. Litbang KMMH-UGM

Contact us

DAMIANUS RENJAAN LAW OFFICE
Jl. Tanah Abang III No. 6
Jakarta 10160
Tlp. 021 3459262
Fax. 021 3517008
No HP : 085228025050
email : damianus@law-dr.com
website : www.law-dr.com

Services

DAMIANUS RENJAAN LAW OFFICE memberikan jasa hukum dalam beberapa bidang antara lain :
- Pidana (Criminal)
- Perdata Umum (General civil)
- Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Right)
- Perjanjian (Contract)
- Pasar Modal (Capital Market)
- Kepailitan (Bankruptcy)
- Hukum Perusahaan (Coorporate Law)
- Investasi (Investment)
- Hukum Perbankan (Banking Law)